DALYANA'S BLOG
My Life My Imagination My Opinion

Sabtu, 16 Oktober 2010

Mengenal Pendidikan Anak Usia DIni di Indonesia

Pengantar
Ditinjau dari sejarahnya, Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di Indonesia mulai diperhatikan oleh pemerintah secara sungguh-sungguh dan mencakup rentang usia 0-6 tahun sejak tahun 2002. Dengan demikian pengembangan PAUD yang mencakup rentang usia 0-6 tahun secara nasional baru berjalan selama 7 tahun. Namun karena pemahaman dan kemauan masyarakat selama ini sudah sangat bagus, sehingga hanya dalam kurun waktu 7 tahun Angka Partisipasi Kasar APK-PAUD sudah mencapai 15,3 juta (53,6%). Saat ini PAUD sudah menjadi “Gerakan Masyarakat Secara Nasional (National Public Movement) masyarakat sehari-hari sudah terbiasa membicarakan pentingnya PAUD bagi masa depan putra-putrinya.
Tantangan Pendidikan Anak Usia Dini di Indonesia
Sampai saat ini masi ada beberapa masalah yang dapat menghambat perluasan kesempatan dan pemerataan akses mengikuti PAUD serta peningkatan mutu PAUD di Indonesia, namun semua itu kita anggap sebagai tantangan yang menarik sehingga untuk mengatasinya diperlukan kreatifivitas dan inovasi yang berkelanjutan.
Tantangan yang prioritas untuk diatasi antara lain :
  1. Jumlah anak yang belum mengikuti PAUD masih cukup besar.
  2. Sarana dan prasarana belajar secara kuantitatif maupun kualitatif masih terbatas, hal ini disebabkan oleh terbatasnya kreativitas guru PAUD untuk menciptakan dan mengembangkan metode pembelajaran dan sumber belajar dengan memanfaatkan potensi budaya dan alam sekitar.
  3. Kompetensi sebagian besar guru PAUD masih belum memadai karena sebagian besar dari mereka tidak berasal dari latar belakang pendidikan PAUD dan mereka belum memperoleh pelatihan yang berkaitan dengan komsep dan ilmu praktis tentang PAUD.
  4. Perbedaan Angka Partisipasi Kasar (APK) peserta PAUD di daerah perkotaan dan perdesaan masih sangat besar.
Capaian 2009 dan Target APK-PAUD Tahun 2014
Pada tahun 2004 tercatat bahwa jumlah APK-PAUD baru mencapai 12,7 juta (27%) dan tahun 2008 APK-PAUD telah mencapai 15,1 juta (50,6%) serta diharapkan pada tahun 2009 akan mencapai 15,3 juta (53,6%). Berdasarkan kondisi tersebut pemerintah telah menetapkan rencana 5 tahun ke depan APK-PAUD diharapkan mencapai 21,3 juta (72,6%). Secara bertahap harapan untuk mencapai jumlah APK-PAUD tersebut terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1
Target Pendidikan Anak Usia Dini di Indonesia Tahun 2010 - 2014
Target / Sasaran Tahun Pencapaian Target
2010 2011 2012 2013 2014
Estimasi Jumlah Anak Usia 0-6 th 30,18 Juta 30,2 Juta 30,3 Juta 30,35 Juta 30,4 Juta
Target Sasaran PAUD (Formal & Nonformal) 17,4 Juta (57,8%) 18,7 Juta (61,8%) 19,9 Juta (65,7%) 21 Juta (69,3%) 22,1 Juta (72,6%)
Target PAUD Formal 5,8 Juta (19,3%) 5,85 Juta (19,37%) 5,9 Juta (19,5%) 5,95 Juta (19,6%) 6 Juta (19,7%)
Target PAUD Nonformal 11,6 Juta (38,5%) 12,85 Juta (42,43%) 14 Juta (46,2%) 15,05 Juta (49,7%) 16,1 Juta (52,9%)
Penyebaran Anak Didik PAUD
Dilihat dari penyebaran jumlah peserta PAUD di Indonesia secara kuantitatif nominal memang dipengaruhi oleh jumlah penduduk di setiap provinsi, artinya makin besar jumlah penduduk suatu provinsi semakin besar jumlah anak yang mengikuti PAUD. Namun apabila dilihat dari persentasenya, ternyata tidak demikian karena besarnya persentase peserta PAUD di suatu provinsi dipengaruhi oleh tingkat kesadaran tentang pentingnya PAUD masyarakat di provinsi tersebut. Penyebaran peserta PAUD secara nominal dan persentasenya dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2
APK PAUD Per Provinsi Tahun 2008
No Provinsi Usia 0-6 Tahun Siswa PAUD APK PAUD
1 DKI Jakarta 1.164.583 496.470 42,63
2 Jawa Barat 5.187.613 2.023.072 39,00
3 Banten 1.369.724 431.118 31,47
4 Jawa tengah 3.417.369 2.120.069 62,04
5 DI Yogyakarta 356.917 321.357 90,04
6 Jawa timur 4.708.453 3.596.988 76,39
7 Nanggroe Aceh Darussalam 580.676 474.868 81,78
8 Sumatra Utara 1.724.233 474.247 27,50
9 Sumatra Barat 563.646 348.949 61,91
10 Riau 746.721 330.261 44,23
11 Kepulauan Riau 117.351 91.054 77,59
12 Jambi 619.101 317.792 51,33
13 Sumatra Selatan 751.389 356.892 47,50
14 Bangka Belitung 131.186 112.002 85,38
15 Bengkulu 217.499 115.550 53,13
16 Lampung 954.847 439.869 46,07
17 Kalimantan Barat 660.849 219.494 33,21
18 Kalimantan Tengah 243.691 143.190 58,76
19 Kalimantan Selatan 605.993 233.657 38,56
20 Kalimantan Timur 600.879 200.868 33,43
21 Sulawesi Utara 275.054 128.170 46,60
22 Gorontalo 174.836 103.841 59,39
23 Sulawesi Tengah 371.266 144.346 38,88
24 Sulawesi Selatan 1.095.025 494.996 45,20
25 Sulawesi Barat 233.583 102.770 44,00
26 Sulawesi Tenggara 333.223 214.802 64,46
27 Maluku 279.506 89.928 32,17
28 Maluku Utara 157.445 90.902 57,74
29 Bali 429.384 193.878 45,15
30 Nusa Tenggara Barat 564.741 321.079 56,85
31 Nusa Tenggara Timur 715.464 208.537 29,15
32 Papua 317.530 99.863 31,45
33 Papua Barat 178.053 68.803 38,64
Total 29.847.830 15.109.682 50,62
Dari Tabel tersebut Nampak bahwa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Provinsi Nangroe Aceh Darussalam yang masing-masing jumlah penduduknya hanya 356.917 dan 580.676 (relative kecil) dibanding penduduk di provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat, ternyata persentase (%) anak usia dini yang mengikuti PAUD lebih besar yaitu 81,78% dan 90,04%.
Jenis PAUD di Indonesia
Dibanding dengang perkembangan model dan jenis PAUD di berbagai negara maju dan berkembang lainnya, PAUD di Indonesia memiliki keunikan khusus yang agak berbeda dengan di luar negeri. Karena di luar neger PAUD pada umumnya hanya dibedakan menjadi 2 (dua) macam yaitu Kindergarden atau Play Group dan Day Care, sedang di Indonesia menjadi 4 (empat) macam yaitu :
  1. Taman Kanak-Kanak (Kindergarten)
  2. Kelompok Bermain (Play Group)
  3. Taman Penitipan Anak (Day Care)
  4. PAUD sejenis (Similar with Play Group)
Sistem Penyelenggaraan PAUD
Penyelenggaraan PAUD di negara lain semata-mata hanya menstimulasi kecerdasan anak secara komprehensif dan pengasuhan terhadap anak, karena aspek kecerdasan yang dikembangkan hanya meliputi kecerdasan intelektual, emosional, estetika, dan social serta pengasuhan. Sedang di Indonesia potensi kecerdasan tersebut diberikan juga pendidikan untuk mengembangkan potensi kecerdasan spiritual yang dilaksanakan melalui pendekatan olah pikir, olah rasa, dan olah raga. Di samping itu, juga diberikan pengetahuan dan pembinaan terhadap kondisi kesehatan dan gizi peserta didik. Oleh karena itu, penyelenggaraan PAUD di Indonesia disebut penyelenggaran PAUD secara “Holistik dan Integratif”


Untuk keterangan lebih lanjut, silahkan hubungi :
Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini
Depdiknas Gedung e Lantai 7, Jl. Jend. Sudirman, Senayan, Jakarta (10270)
website : http://www.paud.depdiknas.go.id
email : paud@paud.depdiknas.go.id Alamat e-mail ini diproteksi dari spambot, silahkan aktifkan Javascript untuk melihatnya
Telepon : (021) 5725506, 5725495
Faksimili : (021) 57900244
 

Pendidikan anak usia dini

 Pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah jenjang pendidikan sebelum jenjang pendidikan dasar yang merupakan suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut, yang diselenggarakan pada jalur formal, nonformal, dan informal.
Pendidikan anak usia dini merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik (koordinasi motorik halus dan kasar), kecerdasan (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual), sosio emosional (sikap dan perilaku serta agama) bahasa dan komunikasi, sesuai dengan keunikan dan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini.
Ada dua tujuan diselenggarakannya pendidikan anak usia dini yaitu:
  • Tujuan utama: untuk membentuk anak Indonesia yang berkualitas, yaitu anak yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan tingkat perkembangannya sehingga memiliki kesiapan yang optimal di dalam memasuki pendidikan dasar serta mengarungi kehidupan di masa dewasa.
  • Tujuan penyerta: untuk membantu menyiapkan anak mencapai kesiapan belajar (akademik) di sekolah.
Rentangan anak usia dini menurut Pasal 28 UU Sisdiknas No.20/2003 ayat 1 adalah 0-6 tahun. Sementara menurut kajian rumpun keilmuan PAUD dan penyelenggaraannya di beberapa negara, PAUD dilaksanakan sejak usia 0-8 tahun.
Ruang Lingkup Pendidikan Anak Usia Dini
  • Infant (0-1 tahun)
  • Toddler (2-3 tahun)
  • Preschool/ Kindergarten children (3-6 tahun)
  • Early Primary School (SD Kelas Awal) (6-8 tahun)

Satuan pendidikan penyelenggara

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Rabu, 13 Oktober 2010

Pengertian Matematika


Matematika sebagai ilmu dasar segala bidang ilmu pengetahuan adalah hal yang sangat penting untuk kita ketahui. Oleh sebab itu, dari mulai usia pendidikan dini yang kita kenal dengan PAUD, Sekolah Dasar, sampai Perguruan Tinggi selalu melibatkan matematika pada mata pelajaran wajib atau kuliahnya.hmm

Namun, tak sedikit dari kita yang sama sekali belum tahu pengertian matematika itu sendiri.. Nah, bagi anda yang belum tahu atau ingin tahu apa itu pengertian matematika, mungkin postingan kali ini membantu anda.

Di kutip dari wikipedia Indonesia, saya tuliskan sebagai berikut :

Matematika (dari bahasa Yunani: μαθηματικά - mathēmatiká) adalah studi besaran, struktur, ruang, dan perubahan. Para matematikawan mencari berbagai pola, merumuskan konjektur baru, dan membangun kebenaran melalui metode deduksi yang kaku dari aksioma-aksioma dan definisi-definisi yang bersesuaian.

Terdapat perselisihan tentang apakah objek-objek matematika seperti bilangan dan titik hadir secara alami, atau hanyalah buatan manusia. Seorang matematikawan Benjamin Peirce menyebut matematika sebagai "ilmu yang menggambarkan simpulan-simpulan yang penting". Di pihak lain, Albert Einstein menyatakan bahwa "sejauh hukum-hukum matematika merujuk kepada kenyataan, mereka tidaklah pasti; dan sejauh mereka pasti, mereka tidak merujuk kepada kenyataan."

Melalui penggunaan penalaran logika dan abstraksi, matematika berkembang dari pencacahan, perhitungan, pengukuran, dan pengkajian sistematis terhadap bangun dan pergerakan benda-benda fisika. Matematika praktis telah menjadi kegiatan manusia sejak adanya rekaman tertulis. Argumentasi kaku pertama muncul di dalam Matematika Yunani, terutama di dalam karya Euklides, Elemen. Matematika selalu berkembang, misalnya di Cina pada tahun 300 SM, di India pada tahun 100 M, dan di Arab pada tahun 800 M, hingga zaman Renaisans, ketika temuan baru matematika berinteraksi dengan penemuan ilmiah baru yang mengarah pada peningkatan yang cepat di dalam laju penemuan matematika yang berlanjut hingga kini.

Kini, matematika digunakan di seluruh dunia sebagai alat penting di berbagai bidang, termasuk ilmu alam, teknik, kedokteran/medis, dan ilmu sosial seperti ekonomi, dan psikologi. Matematika terapan, cabang matematika yang melingkupi penerapan pengetahuan matematika ke bidang-bidang lain, mengilhami dan membuat penggunaan temuan-temuan matematika baru, dan kadang-kadang mengarah pada pengembangan disiplin-disiplin ilmu yang sepenuhnya baru, seperti statistika dan teori permainan. Para matematikawan juga bergulat di dalam matematika murni, atau matematika untuk perkembangan matematika itu sendiri, tanpa adanya penerapan di dalam pikiran, meskipun penerapan praktis yang menjadi latar munculnya matematika murni ternyata seringkali ditemukan terkemudian
Satu lagi, Pengertian matematika sangat sulit didefinsikan secara akurat. Pada umumnya orang awam hanya akrab dengan satu cabang matematika elementer yang disebut aritmatika atau ilmu hitung yang secara informal dapat didefinisikan sebagai ilmu tentang berbagai bilangan yang bisa langsung diperoleh dari bilangan-bilangan bulat 0, 1, -1, 2, - 2, ..., dst, melalui beberapa operasi dasar: tambah, kurang, kali dan bagi.
Sampai saai ini belum ada kesepakatan yang bulat di antara para matematikawan, apa yang disebut matematika itu. Sasaran penelaahan matematika tidaklah konkrit, tetapi abstrak. Dengan mengetahui sasaran penelaahan matematika, kita dapat mengetahui hakekat matematika yang sekaligus dapat kita ketahui juga cara berpikir matematika itu.
Dengan demikian untuk menjawab pertanyaan “Apakah matematika itu ?” tidak dapat dengan mudah dijawab dengan satu atau dua kalimat begitu saja. Karena itu kita harus hati-hati.

Berbagai pendapat muncul tentang pengertian matematika tersebut, dipandang dari pengetahuan dan pengalaman masing-masing yang berbeda. Ada yang mengatakan bahwa matematika itu bahasa simbol; matematika adalah bahasa neumerik; matematika adalah bahasa yang dapat menghilangkan sifat kabur, majemuk, dan emosional; matematika adalah metode berpikir logis; matematika adalah sarana berpikir; matematika adalah logika pada masa dewasa; matematika adalah ratunya ilmu dan sekaligus menjadi pelayannya; matematika adalah sains mengenai kuantitas dan besaran; matematika adalah suatu sains yang bekerja menarik kesimpulan-kesimpulan yang perlu; matematika adalah sains formal yang murni; matematika adalah sains yang memanipulasi simbol; matematika adalah ilmu tentang bilangan dan ruang; matematika adalah ilmu yang mempelajari hubungan pola, bentuk, struktur, matematika adalah ilmu yang abstrak dan deduktif, matematika adalah aktivitas manusia.

Jadi berdasarkan etimologi (Elea Tinggih, 1972 :5). Perkataan matematika berarti “Ilmu pengetahuan yang diperoleh dengan bernalar”.

“James dan James (1976) dalam kamus matematikanya mengatakan bahwa matematika adalah ilmu tentang logika mengenai bentuk, susunan, besaran, dan konsep-konsep yang berhubungan satu dengan yang lainnya dengan jumlah yang banyak yang terbagi ke dalam tiga bidang, yaitu aljabar, analisis, dan geometri. Sebagai contoh, adanya pendapat yang mengatakan bahwa matematika itu timbul karena pikiran-pikiran manusia yang berhubungan dengan ide, proses, dan penalaran yang terbagi menjadi empat wawasan yang luas yaitu aritmetika, aljabar, geometri, dan analisis dengan aritmetika mencakup teori bilangan dan satistika.

Kelompok matematikawan ini berpendapat bahwa matematika adalah ilmu yang dikembangkan untuk matematika itu sendiri. Ilmu adalah untuk ilmu, matematika itu adalah ilmu yang dikembangkan untuk kepentingan sendiri. Ada atau tidak adanya kegunaan matematika, bukanlah urusannya. Menurut pendapatnya, matematika itu adalah ilmu tentang struktur yang bersifat deduktif atau aksiomatik, akurat, abstrak, ketat, dan sebagainya.

Johnson dan Rising (1972) dalam bukunya mengatakan bahwa matematika adalah pola berpikir, pola mengorganisasikan, pembuktian yang logik, matematika itu adalah bahasa yang menggunakan istilah yang didefinisikan dengan cermat, jelas, dan akurat, representasinya dengan simbol dan padat, lebih berupa bahasa simbol mengenai ide daripada mengenai bunyi.

Reys, dkk (1984) dalam bukunya mengatakan bahwa matematika itu adalah telaah tentang pola dan hubungan, suatu jalan atau pola berpikir, suatu seni, suatu bahasa, dan suatu alat.

Kemudian Kline (1973) dalam bukunya mengatakan pula, bahwa matematika itu bukanlah pengetahuan menyendiri yang dapat sempurna karena dirinya sendiri, tetapi adanya matematika itu terutama untuk membantu manusia dalam memahami dan mengatasi permasalahan sosial, ekonomi dan alam.

Matematika tumbuh dan berkembang karena proses berpikir, oleh karena itu logika adalah dasar untuk terbentuknya matematika.

Untuk dapat mengetahui apa matematika itu sebenarnya, seseorang harus mempelajari sendiri ilmu matematika itu, yaitu dengan mempelajari, mengkaji, dan mengerjakannya. Termasuk pengkajian sejauh timbulnya matematika dan perkembangannya.

Apa komentar anda mengenai matematika?? Silahkan isi komentar dibawah ini!

sumber : wikipedia Indonesia dan blog.math.uny.ac.id
Related Posts with Thumbnails

Matematika

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Euklides, matematikawan Yunani, abad ke-3 SM, seperti yang dilukiskan oleh Raffaello Sanzio di dalam detail ini dari Sekolah Athena.[1]
Matematika (dari bahasa Yunani: μαθηματικά - mathēmatiká) adalah studi besaran, struktur, ruang, dan perubahan. Para matematikawan mencari berbagai pola,[2][3] merumuskan konjektur baru, dan membangun kebenaran melalui metode deduksi yang kaku dari aksioma-aksioma dan definisi-definisi yang bersesuaian.[4]
Terdapat perselisihan tentang apakah objek-objek matematika seperti bilangan dan titik hadir secara alami, atau hanyalah buatan manusia. Seorang matematikawan Benjamin Peirce menyebut matematika sebagai "ilmu yang menggambarkan simpulan-simpulan yang penting".[5] Di pihak lain, Albert Einstein menyatakan bahwa "sejauh hukum-hukum matematika merujuk kepada kenyataan, mereka tidaklah pasti; dan sejauh mereka pasti, mereka tidak merujuk kepada kenyataan."[6]
Melalui penggunaan penalaran logika dan abstraksi, matematika berkembang dari pencacahan, perhitungan, pengukuran, dan pengkajian sistematis terhadap bangun dan pergerakan benda-benda fisika. Matematika praktis telah menjadi kegiatan manusia sejak adanya rekaman tertulis. Argumentasi kaku pertama muncul di dalam Matematika Yunani, terutama di dalam karya Euklides, Elemen. Matematika selalu berkembang, misalnya di Cina pada tahun 300 SM, di India pada tahun 100 M, dan di Arab pada tahun 800 M, hingga zaman Renaisans, ketika temuan baru matematika berinteraksi dengan penemuan ilmiah baru yang mengarah pada peningkatan yang cepat di dalam laju penemuan matematika yang berlanjut hingga kini.[7]
Kini, matematika digunakan di seluruh dunia sebagai alat penting di berbagai bidang, termasuk ilmu alam, teknik, kedokteran/medis, dan ilmu sosial seperti ekonomi, dan psikologi. Matematika terapan, cabang matematika yang melingkupi penerapan pengetahuan matematika ke bidang-bidang lain, mengilhami dan membuat penggunaan temuan-temuan matematika baru, dan kadang-kadang mengarah pada pengembangan disiplin-disiplin ilmu yang sepenuhnya baru, seperti statistika dan teori permainan. Para matematikawan juga bergulat di dalam matematika murni, atau matematika untuk perkembangan matematika itu sendiri, tanpa adanya penerapan di dalam pikiran, meskipun penerapan praktis yang menjadi latar munculnya matematika murni ternyata seringkali ditemukan terkemudian.[8]

Pengertian Matematika

Sampai saai ini belum ada kesepakatan yang bulat di antara para matematikawan, apa yang disebut matematika itu. Sasaran penelaahan matematika tidaklah konkrit, tetapi abstrak. Dengan mengetahui sasaran penelaahan matematika, kita dapat mengetahui hakekat matematika yang sekaligus dapat kita ketahui juga cara berpikir matematika itu.
Dengan demikian untuk menjawab pertanyaan “Apakah matematika itu ?” tidak dapat dengan mudah dijawab dengan satu atau dua kalimat begitu saja. Karena itu kita harus hati-hati.
Berbagai pendapat muncul tentang pengertian matematika tersebut, dipandang dari pengetahuan dan pengalaman masing-masing yang berbeda. Ada yang mengatakan bahwa matematika itu bahasa simbol; matematika adalah bahasa neumerik; matematika adalah bahasa yang dapat menghilangkan sifat kabur, majemuk, dan emosional; matematika adalah metode berpikir logis; matematika adalah sarana berpikir; matematika adalah logika pada masa dewasa; matematika adalah ratunya ilmu dan sekaligus menjadi pelayannya; matematika adalah sains mengenai kuantitas dan besaran; matematika adalah suatu sains yang bekerja menarik kesimpulan-kesimpulan yang perlu; matematika adalah sains formal yang murni; matematika adalah sains yang memanipulasi simbol; matematika adalah ilmu tentang bilangan dan ruang; matematika adalah ilmu yang mempelajari hubungan pola, bentuk, struktur, matematika adalah ilmu yang abstrak dan deduktif, matematika adalah aktivitas manusia.
Jadi berdasarkan etimologi (Elea Tinggih, 1972 :5). Perkataan matematika berarti “Ilmu pengetahuan yang diperoleh dengan bernalar”.
“James dan James (1976) dalam kamus matematikanya mengatakan bahwa matematika adalah ilmu tentang logika mengenai bentuk, susunan, besaran, dan konsep-konsep yang berhubungan satu dengan yang lainnya dengan jumlah yang banyak yang terbagi ke dalam tiga bidang, yaitu aljabar, analisis, dan geometri. Sebagai contoh, adanya pendapat yang mengatakan bahwa matematika itu timbul karena pikiran-pikiran manusia yang berhubungan dengan ide, proses, dan penalaran yang terbagi menjadi empat wawasan yang luas yaitu aritmetika, aljabar, geometri, dan analisis dengan aritmetika mencakup teori bilangan dan satistika.
Kelompok matematikawan ini berpendapat bahwa matematika adalah ilmu yang dikembangkan untuk matematika itu sendiri. Ilmu adalah untuk ilmu, matematika itu adalah ilmu yang dikembangkan untuk kepentingan sendiri. Ada atau tidak adanya kegunaan matematika, bukanlah urusannya. Menurut pendapatnya, matematika itu adalah ilmu tentang struktur yang bersifat deduktif atau aksiomatik, akurat, abstrak, ketat, dan sebagainya.
Johnson dan Rising (1972) dalam bukunya mengatakan bahwa matematika adalah pola berpikir, pola mengorganisasikan, pembuktian yang logik, matematika itu adalah bahasa yang menggunakan istilah yang didefinisikan dengan cermat, jelas, dan akurat, representasinya dengan simbol dan padat, lebih berupa bahasa simbol mengenai ide daripada mengenai bunyi.
Reys, dkk (1984) dalam bukunya mengatakan bahwa matematika itu adalah telaah tentang pola dan hubungan, suatu jalan atau pola berpikir, suatu seni, suatu bahasa, dan suatu alat.
Kemudian Kline (1973) dalam bukunya mengatakan pula, bahwa matematika itu bukanlah pengetahuan menyendiri yang dapat sempurna karena dirinya sendiri, tetapi adanya matematika itu terutama untuk membantu manusia dalam memahami dan mengatasi permasalahan sosial, ekonomi dan alam.
Matematika tumbuh dan berkembang karena proses berpikir, oleh karena itu logika adalah dasar untuk terbentuknya matematika.
Untuk dapat mengetahui apa matematika itu sebenarnya, seseorang harus mempelajari sendiri ilmu matematika itu, yaitu dengan mempelajari, mengkaji, dan mengerjakannya. Termasuk pengkajian sejauh timbulnya matematika dan perkembangannya.
Sumber :
http://magfirahathar.blogspot.com/2009/11/pengertian-matematika.html

Memahami Kembali Definisi dan Deskripsi Matematika Oleh A HalimFathani Yahya

Apakah matematika itu? Hingga saat ini belum ada kesepakatan yang bulat di antara para matematikawan tentang apa yang disebut matematika itu. Untuk mendeskripsikan definisi kata matematika para matematikawan belum pernah mencapai satu titik “puncak” kesepakatan yang “sempurna”. Banyaknya definisi dan beragamnya deskripsi yang berbeda dikemukakan oleh para ahli, -mungkin- disebabkan oleh ilmu matematika itu sendiri, di mana matematika termasuk salah satu disiplin ilmu yang memiliki kajian sangat luas sehingga masing-masing ahli bebas mengemukakan pendapatnya tentang matematika berdasarkan sudut pandang, kemampuan, pemahaman, dan pengalamannya masing-masing. Oleh sebab itu matematika tidak akan pernah selesai (baca: tuntas) untuk didiskusikan, dibahas maupun diperdebatkan. Penjelasan mengenai apa dan bagaimana sebenarnya matematika itu, akan terus mengalami perkembangan seiring dengan pengetahuan dan kebutuhan manusia serta laju perubahan zaman.
Untuk dapat memahami bagaimana hakikatnya matematika itu, kita dapat memperhatikan pengertian istilah matematika dan beberapa deskripsi yang diuraikan para ahli berikut: Di antaranya, Romberg mengarahkan hasil penelaahannya tentang matematika kepada tiga sasaran utama. Pertama, para sosiolog, psikolog, pelaksana administrasi sekolah dan penyusun kurikulum memandang bahwa matematika merupakan ilmu statis dengan disipilin yang ketat. Kedua, selama kurun waktu dua dekade terakhir ini, matematika dipandang sebagai suatu usaha atau kajian ulang terhadap matematika itu sendiri. Kajian tersebut berkaitan dengan apa matematika itu? bagaimana cara kerja para matematikawan? dan bagaimana mempopulerkan matematika? Selain itu, matematika juga dipandang sebagai suatu bahasa, struktur logika, batang tubuh dari bilangan dan ruang, rangkaian metode untuk menarik kesimpulan, esensi ilmu terhadap dunia fisik, dan sebagai aktivitas intelektual. (Jackson, 1992:750).
Ernest melihat matematika sebagai suatu konstruktivisme sosial yang memenuhi tiga premis sebagai berikut: i) The basis of mathematical knowledge is linguistic language, conventions and rules, and language is a social constructions; ii) Interpersonal social processes are required to turn an individual’s subjective mathematical knowledge, after publication, into accepted objective mathematical knowledge; and iii) Objectivity itself will be understood to be social. (Ernest, 1991:42). Selain Ernest, terdapat sejumlah tokoh yang memandang matematika sebagai suatu konstruktivisme sosial. Misalnya, Dienes mengatakan bahwa matematika adalah ilmu seni kreatif. Oleh karena itu, matematika harus dipelajari dan diajarkan sebagai ilmu seni. (Ruseffendi, 1988:160).
Bourne juga memahami matematika sebagai konstruktivisme sosial dengan penekanannya pada knowing how, yaitu pebelajar dipandang sebagai makhluk yang aktif dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan dengan cara berinteraksi dengan lingkungannya. Hal ini berbeda dengan pengertian knowing that yang dianut oleh kaum absoluitis, di mana pebelajar dipandang sebagai mahluk yang pasif dan seenaknya dapat diisi informasi dari tindakan hingga tujuan. (Romberg, T.A. 1992: 752).
Kitcher lebih memfokuskan perhatiannya kepada komponen dalam kegiatan matematika. (Jackson, 1992:753). Dia mengklaim bahwa matematika terdiri atas komponen-komponen: 1) bahasa (language) yang dijalankan oleh para matematikawan, 2) pernyataan (statements) yang digunakan oleh para matematikawan, 3) pertanyaan (questions) penting yang hingga saat ini belum terpecahkan, 4) alasan (reasonings) yang digunakan untuk menjelaskan pernyataan, dan 5) ide matematika itu sendiri. Bahkan secara lebih luas matematika dipandang sebagai the science of pattern.
Sejalan dengan kedua pandangan di atas, Sujono (1988:5) mengemukakan beberapa pengertian matematika. Di antaranya, matematika diartikan sebagai cabang ilmu pengetahuan yang eksak dan terorganisasi secara sistematik. Selain itu, matematika merupakan ilmu pengetahuan tentang penalaran yang logik dan masalah yang berhubungan dengan bilangan. Bahkan dia mengartikan matematika sebagai ilmu bantu dalam menginterpretasikan berbagai ide dan kesimpulan.
Pengertian yang lebih plural tentang matematika dikemukakan oleh Freudental (1991:1). Dia mengatakan bahwa “mathematics look like a plural as it still is in French Les Mathematiques .Indeed, long ago it meant a plural: four arts (liberal ones worth being pursued by free men). Mathematics was the quadrivium, the sum of arithmetic, geometry astronomy and music, held in higher esteem than the (more trivial) trivium: grammar, rhetoric and dialectic. …As far as I am familiar with languages, Ducth is the only one in which the term for mathematics is neither derived from nor resembles the internationally sanctioned Mathematica. The Ducth term was virtually coined by Simon (1548-1620): Wiskunde, the science of what is certain. Wis en zeker, sure and certain, is that which does not yield to any doubt, and kunde means, knowledge, theory. . Dari sisi abstraksi matematika, Newman melihat tiga ciri utama matematika, yaitu; 1) matematika disajikan dalam pola yang lebih ketat, 2) matematika berkembang dan digunakan lebih luas dari pada ilmu-ilmu lain, dan 3) matematika lebih terkonsentrasi pada konsep. (Jackson, 1992:755).
Selanjutnya, pendapat para ahli mengenai matematika yang lain, di antaranya telah muncul sejak kurang lebih 400 tahun sebelum masehi, dengan tokoh-tokoh utamanya Plato (427–347 SM) dan seorang muridnya Aristoteles (348–322 SM). Mereka mempunyai pendapat yang berlainan. Plato berpendapat, bahwa matematika adalah identik dengan filsafat untuk ahli pikir, walaupun mereka mengatakan bahwa matematika harus dipelajari untuk keperluan lain. Objek matematika ada di dunia nyata, tetapi terpisah dari akal. Ia mengadakan perbedaan antara aritmetika (teori bilangan) dan logistik (teknik berhitung) yang diperlukan orang. Belajar aritmetika berpengaruh positif karena memaksa yang belajar untuk belajar bilangan-bilangan abstrak. Dengan demikian matematika ditingkatkan menjadi mental aktivitas mental abstrak pada objek-objek yang ada secara lahiriah, tetapi yang ada hanya mempunyai representasi yang bermakna. Plato dapat disebut sebagai seorang rasionalis. Aristoteles mempunyai pendapat yang lain. Ia memandang matematika sebagai salah satu dari tiga dasar yang membagi ilmu pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan fisik, matematika, dan teologi. Matematika didasarkan atas kenyataan yang dialami, yaitu pengetahuan yang diperoleh dari eksperimen, observasi, dan abstraksi. Aristoteles dikenal sebagai seorang eksperimentalis. (Moeharti Hadiwidjojo dalam F. Susilo, S.J. & St. Susento, 1996:20).
Sedangkan matematika dalam sudut pandang Andi Hakim Nasution (1982:12) yang diuraikan dalam bukunya, bahwa istilah matematika berasal dari kata Yunani, mathein atau manthenein yang berarti mempelajari. Kata ini memiliki hubungan yang erat dengan kata Sanskerta, medha atau widya yang memiliki arti kepandaian, ketahuan, atau intelegensia. Dalam bahasa Belanda, matematika disebut dengan kata wiskunde yang berarti ilmu tentang belajar (hal ini sesuai dengan arti kata mathein pada matematika).
Sedangkan orang Arab, menyebut matematika dengan ‘ilmu al-hisab yang berarti ilmu berhitung. Di Indonesia, matematika disebut dengan ilmu pasti dan ilmu hitung. Sebagian orang Indonesia memberikan plesetan menyebut matematika dengan “matimatian”, karena sulitnya mempelajari matematika. (Abdusysyakir, 2007:5). Pada umumnya orang awam hanya akrab dengan satu cabang matematika elementer yang disebut aritmetika atau ilmu hitung yang secara informal dapat didefinisikan sebagai ilmu tentang berbagai bilangan yang bisa langsung diperoleh dari bilangan-bilangan bulat 0, 1, -1, 2, – 2, …, dst, melalui beberapa operasi dasar: tambah, kurang, kali dan bagi.
Matematika secara umum ditegaskan sebagai penelitian pola dari struktur, perubahan, dan ruang; tak lebih resmi, seorang mungkin mengatakan adalah penelitian bilangan dan angka. Dalam pandangan formalis, matematika adalah pemeriksaan aksioma yang menegaskan struktur abstrak menggunakan logika simbolik dan notasi matematika; pandangan lain tergambar dalam filosofi matematika.(www.wikipedia.org) Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), matematika didefinisikan sebagai ilmu tentang bilangan, hubungan antara bilangan, dan prosedur operasional yang digunakan dalam penyelesaian masalah mengenai bilangan. (Hasan Alwi, 2002:723)
Pernah dalam suatu diskusi ada pertanyaan “unik”. Apa kepanjangan dari Matematika? Dalam benak saya, masak ada kepanjangan Matematika, selama ini yang diketahui kebanyakan orang, Matematika adalah tidak lebih dari sekedar ilmu dasar sains dan teknologi yang tentunya bukan merupakan singkatan. Setelah berpikir agak lama hampir mengalami kebuntuan dalam berpikir, akhirnya narasumber menjelaskan, bahwa Matematika memiliki kepanjangan dalam 2 versi. Pertama, Matematika merupakan kepanjangan dari MAkin TEkun MAkin TIdak KAbur, dan kedua adalah MAkin TEkun MAkin TIdak KAruan. Dua kepanjangan tersebut tentunya sangat berlawanan.
Untuk kepanjangan pertama mungkin banyak kalangan yang mau menerima dan menyatakan setuju. Karena siapa saja yang dalam kesehariannya rajin dan tekun dalam belajar matematika baik itu mengerjakan soal-soal latihan, memahami konsep hingga aplikasinya maka dipastikan mereka akan mampu memahami materi secara tuntas. Karena hal tersebut maka semuanya akan menjadi jelas dan tidak kabur. Berbeda dengan kepanjangan versi kedua, tidak dapat dibayangkan jika kita semakin tekun dan ulet belajar matematika malah menjadi tidak karuan alias amburadul. Mungkin kondisi ini lebih cocok jika diterapkan kepada siswa yang kurang berminat dalam belajar matematika (bagi siswa yang memiliki keunggulan kecerdasan di bidang lainnya) sehingga dipaksa dengan model apapun kiranya agak sulit untuk dapat memahami materi matematika secara tuntas dan lebih baik mempelajari bidang ilmu lain yang dianggap lebih cocok untuk dirinya dan lebih mudah dalam pemahamannya.
Berpijak pada uraian tersebut, menurut Sumardyono (2004:28) secara umum definisi matematika dapat dideskripsikan sebagai berikut, di antaranya:
1. Matematika sebagai struktur yang terorganisir.
Agak berbeda dengan ilmu pengetahuan yang lain, matematika merupakan suatu bangunan struktur yang terorganisir. Sebagai sebuah struktur, ia terdiri atas beberapa komponen, yang meliputi aksioma/postulat, pengertian pangkal/primitif, dan dalil/teorema (termasuk di dalamnya lemma (teorema pengantar/kecil) dan corolly/sifat).
2. Matematika sebagai alat (tool).
Matematika juga sering dipandang sebagai alat dalammencari solusi pelbagai masalah dalam kehidupan sehari-hari.
3. Matematika sebagai pola pikir deduktif.
Matematika merupakan pengetahuan yang memiliki pola pikir deduktif, artinya suatu teori atau pernyataan dalam matematika dapat diterima kebenarannya apabila telah dibuktikan secara deduktif (umum).
4. Matematika sebagai cara bernalar (the way of thinking).
Matematika dapat pula dipandang sebagai cara bernalar, paling tidak karena beberapa hal, seperti matematika matematika memuat cara pembuktian yang sahih (valid), rumus-rumus atau aturan yang umum, atau sifat penalaran matematika yang sistematis.
5. Matematika sebagai bahasa artifisial.
Simbol merupakan ciri yang paling menonjol dalam matematika. Bahasa matematika adalah bahasa simbol yang bersifat artifisial, yang baru memiliki arti bila dikenakan pada suatu konteks.
6. Matematika sebagai seni yang kreatif.
Penalaran yang logis dan efisien serta perbendaharaan ide-ide dan pola-pola yang kreatif dan menakjubkan, maka matematika sering pula disebut sebagai seni, khususnya merupakan seni berpikir yang kreatif.
Ada yang berpendapat lain tentang matematika yakni pengetahuan mengenai kuantiti dan ruang, salah satu cabang dari sekian banyak cabang ilmu yang sistematis, teratur, dan eksak. Matematika adalah angka-angka dan perhitungan yang merupakan bagian dari hidup manusia. Matematika menolong manusia menafsirkan secara eksak berbagai ide dan kesimpulan-kesimpulan. Matematika adalah pengetahuan atau ilmu mengenai logika dan problem-problem numerik. Matematika membahas faka-fakta dan hubungan-hubungannya, serta membahas problem ruang dan waktu. Matematika adalah queen of science (ratunya ilmu). (Sutrisman dan G. Tambunan, 1987:2-4)
Berdasarkan pelbagai pendapat tentang definisi dan deskripsi matematika di atas, kiranya dapat dijadikan sebagai bahan renungan bagi kita seorang Muslim – terutama bagi pihak yang masih merasa memiliki anggapan “sempit” mengenai matematika. Melihat beragamnya pendapat banyak tokoh di atas tentang matematika, benar-benar menunjukkan begitu luasnya objek kajian dalam matematika. Matematika selalu memiliki hubungan dengan disiplin ilmu yang lain untuk pengembangan keilmuan, terutama di bidang sains dan teknologi. Bagi guru, dengan memahami hakikat definisi dan deskripsi matematika –sebagaimana tersebut di atas- tentunya memiliki kontribusi yang besar untuk menyelenggarakan proses pembelajaran matematika secara lebih bermakna. Diharapkan, matematika, tidak lagi dipandang secara parsial oleh siswa, guru, masyarakat, atau pihak lain. Melainkan mereka dapat memandang matematika secara “jujur” (baca: utuh) yang pada akhirnya dapat memacu dan berpartisipasi untuk membangun peradaban dunia demi kemajuan sains dan teknologi yang dapat memberikan manfaat bagi umat manusia. Lebih-lebih membawa dampak positif bagi umat Muslim, sehingga dapat merasakan kembali bagaimana peradaban Islam dapat menjadi rahmatan lil ‘alamin. [ahf]
Daftar Pustaka
Abdusysyakir. 2007. Ketika Kyai Mengajar Matematika. Malang: UIN-Malang Press
Andi Hakim Nasution. 1982. Landasan Matematika. Bogor: Bhratara
Ernest, P. 1991. The Philosophy of Methematics Education. London: Falmer.
Freudental, H. 1991. Revisiting Mathematics Education. Netherlands: Kluwer Academic Publishers.
Hasan Alwi, dkk. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
http://www.wikipedia.org, diakses 14 Desember 2007.
Jackson, P.W. 1992. Handbook of Reseasrch on Curriculum. New York: A Project of American Educational Research Association.
Moeharti Hadiwidjojo. 1996. “Hubungan Antara Geometri Non-Euclides Klasik dan Dunia Nyata”. Dalam Percikan Matematika. F. Susilo, S.J. dan St. Susento (Ed.). Yogyakarta: Penerbitan Universitas Sanata Dharma.
Romberg, T.A. 1992. Problematic Features of the School Mathematics Curriculum, in J. Philip (Ed.). Handbook of Research on Curriculum. New York: A Project of American Educational Research Association.
Ruseffendi, E.T. 1988. Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.
Sujono. 1988. Pengajaran Matematika untuk Sekolah Menengah. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sumardyono. 2004. Karakteristik Matematika dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Matematika. Yogyakarta: Depdiknas.
Sutrisman dan G. Tambunan. 1987. Pengajaran Matematika. Jakarta: Penerbit Karunika-Universitas Terbuka.

Selasa, 12 Oktober 2010

APLIKASI EMOSI DALAM PENDIDIKAN

A. Pengertian Emosi
Jiwa manusia merupakan satu kesatuan yang saling bersinergi satu sama lain yang menciptakan suatu keadaan kepribadian yang seimbang. Jika kita berbicara tentang kepribadian yang seimbang, pada diri setiap individu memiliki hal yang mempengaruhi terhadap kepribadian yaitu kestabilan emosi. Emosi pada diri individu berperan penting dalam penciptaan kepribadian dan perjalanan kehidupan seorang manusia, sehingga jika dikaji dari sisi psikologis manusia, maka akan muncul suatu keadaan dimana peran emosi ini sangat berpengaruh dalam segala hal kehidupan manusia, karena manusia merupakan makhluk yang mempunyai perasaan, hati nurani dan kepekaan terhadap peristiwa yang dialami secara emosional yang membedakan dengan makhluk lainnya.
Kata "emosi" diturunkan dari kata bahasa Perancis, émotion, dari émouvoir, yang berarti 'kegembiraan' dan dari bahasa Latin emovere, dari e- (varian eks-) berarti 'luar' dan movere yang berarti 'bergerak'. Emosi adalah istilah yang digunakan untuk keadaan mental dan fisiologis yang berhubungan dengan beragam perasaan, pikiran, dan perilaku. Emosi adalah pengalaman yang bersifat subjektif, atau dialami berdasarkan sudut pandang individu. Emosi berhubungan dengan konsep psikologi lain seperti suasana hati, temperamen, kepribadian, dan disposisi. menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) pengertian emosi adalah ; “luapan perasaan yang berkembang dan surut pada waktu singkat”.
Definisi secara psikologi emosi diartikan sebagai warna afektif seseorang yang disertai penyesuaian dari dalam diri individu tentang keadaan mental dan fisik yang berwujud suatu tingkah laku yang tampak. Dalam buku Psikologi Belajar karya DR.Nyany Khodijah (2006) Definisi emosi dirumuskan secara bervariasi oleh para psikolog, dengan orientasi teoritis yang berbeda-beda, antara lain sebagai berikut :
1. William James (dalam DR. Nyayu Khodijah) mendefinisikan emosi sebagai keadaan budi rohani yang menampakkan dirinya dengan suatu perubahan yang jelas pada tubuh.
2. Goleman, 1999 (dalam DR. Nyayu Khodijah) mendefinisikan emosi sebagai suatu keadaan biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak..
3. Kleinginna & Kleinginna (dalam DR. Nyayu Khodijah) mencatat ada 92 definisi yang berbeda tentang emosi., Namun disepakati bahwa keadaan emosional adalah suatu reaksi kompleks yang melibatkan kegiatan dan perubahan yang mendalam serta dibarengi dengan perasaan yang kuat.
Menurut Chaplin (1989) dalam Dictionary of psychology, emosi adalah sebagai suatu keadaan yang terangsang dari organisme mencakup perubahan-perubahan yang disadari, yang mendalam sifatnya dari perubahan perilaku. Chaplin (1989) membedakan emosi dengan perasaan, parasaan (feelings) adalah pengalaman disadari yang diaktifkan baik oleh perangsang eksternal maupun oleh bermacam-macam keadaan jasmaniah.
Menurut Crow & Crow (1958), emosi adalah "an emotion, is an affective experience that accompanies generalized inner adjustment and mental and physiological stirredup states in the individual, and that shows it self in his evert behaviour". Jadi, emosi adalah warna afektif yang kuat dan ditandai oleh perubahan-perubahan fisik.
Menurut Hurlock (1990), individu yang dikatakan matang emosinya yaitu:
a. Dapat melakukan kontrol diri yang bisa diterima secara sosial. Individu yang emosinya matang mampu mengontrol ekspresi emosi yang tidak dapat diterima secara sosial atau membebaskan diri dari energi fisik dan mental yang tertahan dengan cara yang dapat diterima secara sosial.
b. Pemahaman diri. Individu yang matang, belajar memahami seberapa banyak kontrol yang dibutuhkannya untuk memuaskan kebutuhannya dan sesuai dengan harapan masyarakat
c. Menggunakan kemampuan kritis mental. Individu yang matang berusaha menilai situasi secara kritis sebelum meresponnya, kemudian memutuskan bagaimana cara bereaksi terhadap situasi tersebut.
Kematangan emosi (Wolman dalam Puspitasari, 2002) dapat didefinisikan sebagai kondisi yang ditandai oleh perkembangan emosi dan pemunculan perilaku yang tepat sesuai dengan usia dewasa dari pada bertingkahlaku seperti anak-anak. Semakin bertambah usia individu diharapkan dapat melihat segala sesuatunya secara obyektif, mampu membedakan perasaan dan kenyataan, serta bertindak atas dasar fakta dari pada perasaan.
Menurut Kartono (1988) kematangan emosi sebagai kedewasaan dari segi emosional dalam artian individu tidak lagi terombang ambing oleh motif kekanak- kanakan. Chaplin (2001) menambahkan emosional maturity adalah suatu keadaan atau kondisi mencapai tingkat kedewasaan dari perkembangan emosi dan karena itu pribadi yang bersangkutan tidak lagi menampilkan pola emosional yang tidak pantas.
Smith (1995) mendefinisikan kematangan emosi menghubungkan dengan karakteristik orang yang berkepribadian matang. Orang yang demikian mampu mengekspresikan rasa cinta dan takutnya secara cepat dan spontan. Sedangkan pribadi yang tidak matang memiliki kebiasaan menghambat perasaan- perasaannya. Sehingga dapat dikatakan pribadi yang matang dapat mengarahkan energi emosi ke aktivitas-aktivitas yang sifatnya kreatif dan produktif. Senada dengan pendapat di atas Covey (dalam Puspitasari, 2002) mengemukakan bahwa kematangan emosi adalah kemampuan untuk mengekspresikan perasaan yang ada dalam diri secara yakin dan berani, diimbangi dengan pertimbangan-pertimbangan akan perasaan dan keyakinan individu lain.

Menurut pandangan Skinner (1977) esensi kematangan emosi melibatkan kontrol emosi yang berarti bahwa seseorang mampu memelihara perasaannya, dapat meredam emosinya, meredam balas dendam dalam kegelisahannya, tidak dapat mengubah moodnya, tidak mudah berubah pendirian. Kematangan emosi juga dapat dikatakan sebagai proses belajar untuk mengembangkan cinta secara sempurna dan luas dimana hal itu menjadikan reaksi pilihan individu sehingga secara otomatis dapat mengubah emosi-emosi yang ada dalam diri manusia (Hwarmstrong, 2005).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa emosi adalah suatu respons terhadap suatu perangsang yang menyebabkan perubahan fisiologis disertai perasaan yang kuat dan biasanya mengandung kemungkinan untuk meletus.
Walgito, 1997 (dalam DR. Nyayu Khodijah), mengemukakan tiga teori emosi, yaitu :
a. Teori Sentral
Menurut teori ini, gejala kejasmanian merupakan akibat dari emosi yang dialami oleh individu; jadi individu mengalami emosi terlebih dahulu baru kemudian mengalami perubahan-perubahan dalam kejasmaniannya. Contohnya : orang menangis karena merasa sedih
b. Teori Periferal
Teori ini dikemukakan oleh seorang ahli berasal dari Amerika Serikat bernama William James (1842-1910). Menurut teori ini justru sebaliknya, gejala-gejala kejasmanian bukanlah merupakan akibat dari emosi yang dialami oleh individu, tetapi malahan emosi yang dialami oleh individu merupakan akibat dari gejala-gejala kejasmanian. Menurut teori ini, orang tidak menangis karena susah, tetapi sebaliknya ia susah karena menangis.
c. Teori Kepribadian
Menurut teori ini, emosi ini merupakan suatu aktifitas pribadi, dimana pribadi ini tidak dapat dipisah-pisahkan dalam jasmani dan psikis sebagai dua substansi yang terpisah. Karena itu, maka emosi meliputi pula perubahan-perubahan kejasmanian. Misalnya apa yang dikemukakan oleh J. Linchoten.
Secara garis besar emosi manusia dibedakan dalam dua bagian yaitu :
a. Emosi positif (emosi yang menyenangkan), yaitu emosi yang menimbulkan perasaan positif pada orang yang mengalaminya, diataranya adalah cinta, sayang, senang, gembira, kagum dan sebagainya.
b. Emosi negatif (emosi yang tidak menyenangkan), yaitu emosi yang menimbulkan perasaan negatif pada orang yang mengalaminya, diantaranya adalah sedih, marah, benci, takut dan sebagainya.

B. Fungsi emosi
Bagi manusia, emosi tidak hanya berfungsi untuk Survival atau sekedar untuk mempertahankan hidup, seperti pada hewan. Akan tetapi, emosi juga berfungsi sebagai Energizer atau pembangkit energi yang memberikan kegairahan dalam kehidupan manusia. Selain itu, emosi juga merupakan Messenger atau pembawa pesan (Martin dalam DR. Nyayu Khodijah, 2006)
Survival, yaitu sebagai sarana untuk mempertahankan hidup. Emosi memberikan kekuatan pada manusia untuk membeda dan mempertahankan diri terhadap adanya gangguan atau rintangan. Adanya perasaan cinta, sayang, cemburu, marah, atau benci, membuat manusia dapat menikmati hidup dalam kebersamaan dengan manusia lain.
Energizer, yaitu sebagai pembangkit energi. Emosi dapat memberikan kita semangat dalam bekerja bahkan juga semangat untuk hidup. Contohnya : perasaan cinta dan sayang. Namun, emosi juga dapat memberikan dampak negatif yang membuat kita merasakan hari-hari yang suram dan nyaris tidak ada semangat untuk hidup.Contohnya : perasaan sedih dan benci.
Messenger, yaitu sebagai pembawa pesan. Emosi memberitahu kita bagaimana keadaan orang-orang yang berada disekitar kita, terutama orang-orang yang kita cintai dan sayangi, sehingga kita dapat memahami dan melakukan sesuatu yang tepat dengan kondisi tersebut. Bayangkan jika tidak ada emosi, kita tidak tahu bahwa disekitar kita ada orang yang sedih karena sesuatu hal yang terjadi dalam keadaan seperti itu mungkin kita akan tertawa-tawa bahagia sehingga membuat seseorang yang sedang bersedih merasa bahwa kita bersikap empati terhadapnya.
Dari pemaparan tentang fungsi emosi itu sendiri, maka kita dapat tarik suatu kejelasan bahwa emosi dalam kehidupan sangat berperan untuk menunjang segala aktifitas yang dilakukan oleh manusia. Penggunaan emosi yang tepat dalam situasi yang tepat dapat memepengaruhi terhadap hasil dari aktifitas yang dilakukan oleh manusia. Maka dari itu, patutlah kita menyadari tentang fungsi emosi pada diri kita serta menempatkan emosi tersebut pada situasi yang tepat. Dengan kita tepat dalam menggunakan emosi kita maka kitapun akan tepat dalam menghadapi suatu hal. Emosi tidaklah selalu harus diartikan sebagai hal yang buruk untuk dilibatkan dalam sesuatu karena Emosi pada prinsipnya menggambarkan perasaan manusia menghadapi berbagai situasi yang berbeda. Oleh karena emosi merupakan reaksi manusiawi terhadap berbagai situasi nyata maka sebenarnya tidak ada emosi baik atau emosi buruk. Berbagai buku psikologi yang membahas masalah emosi seperti yang dibahas Atkinson (1983) membedakan emosi hanya 2 jenis yakni emosi menyenangkan dan emosi tidak menyenangkan. Dengan demikian emosi di kantor dapat dikatakan baik atau buruk hanya tergantung pada akibat yang ditimbulkan baik terhadap individu maupun orang lain yang berhubungan (Martin, 2003). Maka dari itu sangat penting untuk disadari bahwa melibatkan emosi yang tepat dalam segala hal aktifitas dapat mempengaruhi terhadap perilaku individu kearah perilaku yang tepat pula khususnya dalam mengambil suatu keputusan.
C. Implikasi dalam pendidikan
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa sangat keliru jika emosi diartikan kepada hal yang negatif serta tidak perlu dilibatkan dalam segala aktifitas. Melainkan bahwa emosi merupakan suatu hal yang sangat berperan dalam segala aktifitas termasuk dalam pendidikan dalam hal ini proses belajar dalam upaya mencapai suatu keberhasilan dan prestasi dalam pendidikan. Dari fungsi emosi yang telah dijelaskan sebelumnya terbukti bahwa emosi mempunyai suatu kekuatan yaitu energizer, maka jika kekuatan ini dikaitkan dalam proses pendidikan maka emosi ini akan memicu prestasi serta keberhasilan individu dalam pendidikan ketika individu tersebut menggunakan emosinya dengan tepat.
Dalam proses belajar, kita tidak menyangkal bahwa peran intelegensi berpengaruh terhadap prestasi pembelajaran. Namun yang muncul saat ini tingkat keberhasilan seseorang dalam pendidikan sangat difokuskan untuk diukur secara kuantitas intelegensi yaitu dengan pengukuran Intelligence Quotient (IQ), peran IQ diasumsikan sebagai hal utama yang berpengaruh terhadap keberhasilan, akan tetapi perlu disadari bahwa IQ hanyalah merupakan pengukuran secara kuantitas mengenai tingkat intelegensi yang dapat diukur dan bersifat kongkrit dan konvergen, pengukuran terhadap intelegensi (IQ) ini tidak menggambarkan seseorang secara kualitas, karena menurut penelitian bahwa yang mempengaruhi keberhasilan bukanlah tingkat IQ yang tinggi saja namun aspek lainnya yang justru berperan lebih besar daripada IQ, terbukti bahwa IQ hanya berpengaruh 20% saja dalam keberhasilan, akan tetapi 80% lainnya dipengaruhi oleh kecerdasan yang lain termasuk didalamnya peran emosi yang perlu dipertimbangkan.
Emosi berpengaruh besar pada kualitas dan kuantitas belajar (Meier dalam DR. Nyayu Khodijah, 2006). Emosi yang positif dapat mempercepat proses belajar dan mencapai hasil belajar yang lebih baik, sebaliknya emosi yang negatif dapat memperlambat belajar atau bahkan menghentikannya sama sekali. Oleh karena itu, pembelajaran yang berhasil haruslah dimulai dengan menciptakan emosi positif pada diri pembelajar. Untuk menciptakan emosi positif pada diri siswa dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya adalah dengan menciptakan lingkungan belajar yang menyenangkan dan dengan penciptaan kegembiraan belajar. Menurut Meier, 2002 (dalam DR. Nyayu Khodijah, 2006) kegembiraan belajar seringkali merupakan penentu utama kualitas dan kuantitas belajar yang dapat terjadi. Kegembiraan bukan berarti menciptakan suasana kelas yang ribut dan penuh hura-hura. Akan tetapi, kegembiraan berarti bangkitnya pemahaman dan nilai yang membahagiakan pada diri si pembelajar. Selain itu, dapat juga dilakukan pengembangan kecerdasan emosi pada siswa. Kecerdasan emosi merupakan kemampuan seseorang dalam mengelola emosinya secara sehat terutama dalam berhubungan dengan orang lain.
Maka dari hal tersebut dapat kita simpulkan bahwa dalam proses pendidikan, emosi sangat berperan dan perlu untuk dilibatkan dalam proses pembelajaran karena emosi mempunyai suatu kekuatan yang dapat memicu kita dalam mencapai suatu prestasi belajar. Maka dengan ini keberhasilan sangatlah keliru jika dianggap factor utamanya adalah IQ yang tinggi karena banyak orang yang berhasil dalam sisi akademik namun tidak bisa melakukan apapun dengan keberhasilannya dalam kehidupan yang nyata, oleh karena itu keterlibatan emosi sangat penting dalam segala aktifitas, apalagi jika kita dapat mengelola emosi itu dengan tepat atau dengan kata lain cerdas dalam menggunakan emosi. Kecerdasan emosi ini akan sangat berperan terhadap keberhasilan seseorang dalam segala aspek kehidupan.

EMOSI DAN MANAJEMEN EMOSI

Emosi adalah perasaan intens yang ditujukan kepada seseorang atau sesuatu.[1] Emosi adalah reaksi terhadap seseorang atau kejadian.[2] Emosi dapat ditunjukkan kerika merasa senang mengenai sesuatu, marah kepada seseorang, ataupun takut terhadap sesuatu.[1].
Kata "emosi" diturunkan dari kata bahasa Perancis, émotion, dari émouvoir, 'kegembiraan' dari bahasa Latin emovere, dari e- (varian eks-) 'luar' dan movere 'bergerak'.[3] Kebanyakan ahli yakin bahwa emosi lebih cepat berlalu daripada suasana hati.[3] Sebagai contoh, bila seseorang bersikap kasar, manusia akan merasa marah.[3] Perasaan intens kemarahan tersebut mungkin datang dan pergi dengan cukup cepat tetapi ketika sedang dalam suasana hati yang buruk, seseorang dapat merasa tidak enak untuk beberapa jam. (Wikipedia)
Dalam ”The Expression of the Emotions in Man and Animals”, Charles Darwin menyatakan bahwa emosi berkembang seiring waktu untuk membantu manusia memecahkan masalah.[4] Emosi sangat berguna karena ‘memotivasi’ orang untuk terlibat dalam tindakan penting agar data bertahan hidup –tindakan-tindakan seperti mengumpulkan makanan, mencari tempat berlindung, memilih pasangan, menjaga diri terhadap pemangsa, dan memprediksi perilaku manusia lain.[4]

[sunting] Klasifikasi Emosi

Salah satu cara mengklasifikasikan emosi adalah berdasarkan apakah emosi tersebut positif atau negatif[5]. Emosi-emosi positif -seperti rasa gembira dan rasa syukur- mengekspresikan sebuah evaluasi atau perasaan menguntungkan, sedangkan emosi-emosi negatif -seperti rasa marah atau rasa bersalah- mengekspresikan sebaliknya.[5] Emosi tidak dapat netral, karena menjadi netral berarti menjadi nonemosional[6].

Sumber-sumber emosi dan suasana hati

Kepribadian

Kepribadian memberi kecenderungan kepada orang untuk mengalami suasana hati dan emosi tertentu, contohnya beberapa orang merasa bersalah dan merasakan kemarahan dengan lebih mudah dbandingkan orang lain, sedangkan orang lain mungkin merasa tenang dan rileks dalam situasi apa pun.[4] Intinya, beberapa orang memiliki kecenderungan untuk memiliki emosi apa pun secara lebih intens atau memiliki intensitas afek (perbedaan individual dalam kekuatan di mana individu-individu mengalami emosi mereka) tinggi[7].

Manajemen Emosi


Gw lg iseng gada kerjaan dikantor…(like usual) ^_^, trus gw tiba2 teringat ama yg namanya EQ (Emotional Intelligence Quotient) yg sekarang kyknya lg banyak dibicarakan hehehe…itu bagus katanya..so gw mencari artikel yg pengen gw baca…dptlah ini…n’ gw mau berbagi ama temen² semua….Boleh khan?! ^_^
(From Sinarharapan.co.id)
Seringkali kita menganggap bahwa emosi adalah hal yang begitu saja terjadi dalam hidup kita. Kita menganggap bahwa perasaan marah, takut, sedih, senang, benci, cinta, antusias, bosan, dan sebagainya adalah akibat dari atau hanya sekedar respon kita terhadap berbagai peristiwa yang terjadi pada kita.
Menurut definisi Daniel Goleman dalam bukunya, Emotional Intelligence, emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran-pikiran khasnya, suatu keadaan biologis dan psikologis, dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Sedangkan Anthony Robbins (penulis Awaken the Giant Within) menunjuk emosi sebagai sinyal untuk melakukan suatu tindakan.
Di sini ia melihat bahwa emosi bukan akibat atau sekadar respon, tetapi justru sinyal untuk kita melakukan sesuatu. Jadi dalam hal ini ada unsur proaktif, yaitu kita melakukan tindakan atas dorongan emosi yang kita miliki. Bukannya kita bereaksi atau merasakan perasaan hati atau emosi karena kejadian yang terjadi pada kita.
Lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa meskipun ada ratusan jenis emosi, namun ada empat emosi dasar di titik pusatnya (takut, marah, sedih dan senang), dengan berbagai variasi atau nuansanya yang mengembang keluar dari titik pusat tersebut.
Tepi luar ”lingkaran emosi” diisi oleh suasana hati yang secara teknis lebih tersembunyi dan berlangsung jauh lebih lama daripada emosi (misalnya jika suasana hati sedang marah, mudah tersinggung, kejadian kecil yang mengecewakan dapat memicu kemarahan seseorang). Di luar lingkaran suasana hati terdapat temperamen atau watak. Artinya seseorang dalam kondisi selalu dalam suasana hati dengan emosi tertentu, misalnya seseorang dengan temperamen pemarah akan selalu menunjukkan emosi marah setiap saat.
Di luar temperamen, barulah apa yang disebut dengan gangguan emosi seperti: depresi klinis, atau kecemasan yang tidak kunjung reda, kegelisahan dan sebagainya. Emosi secara fisiologis terdapat pada salah satu bagian dari sistem otak yang disebut sistem limbik, yaitu ”otak kecil” di atas tulang belakang, di bawah tulang tengkorak. Sistem limbik ini memiliki tiga fungsi, yaitu mengontrol emosi, mengontrol seksualitas, dan mengontrol pusat-pusat kenikmatan.
Emosi merupakan hal yang paling penting dalam perkembangan otak seseorang. Banyak orang mengira bahwa emosi secara keseluruhan ada di luar kendali dirinya, sehingga berbagai reaksi atas berbagai kejadian hidup terjadi secara spontan. Padahal sesungguhnya kemampuan kita dalam mengendalikan dan mengelola emosi kita merupakan faktor penentu penting keberhasilan atau kesuksesan dalam berbagai aspek kehidupan kita.
Sejak diperkenalkan Kecerdasan Emosi (Emotional Intelligence – EQ) oleh Daniel Goleman pada 1995 tersebut, perhatian masyarakat mulai beralih dari kecerdasan intelektual (IQ) semata kepada kecerdasan emosional. Meskipun sampai saat ini, setidaknya menurut pandangan kami, upaya pendidikan formal masih hanya ditekankan pada penguasaan kecerdasan intelektual – IQ semata.
***
Keterampilan yang berhubungan dengan emosi (dikenal dengan istilah soft-skills) hampir terlupakan dalam sistem dunia pendidikan kita dibandingkan dengan penguasaan ilmu-ilmu pengetahuan dan teknologi (hard-skills). Padahal keberhasilan seseorang amatlah ditentukan oleh kemampuannya menguasai berbagai keterampilan yang berhubungan dengan kecerdasan emosi. Ada ungkapan yang menyatakan bahwa orang tidak akan sukses dalam bidang apa pun kecuali jika ia senang dengan apa yang digelutinya itu.
Pernahkah Anda mengalami tidak menyukai satu mata pelajaran tertentu, atau tidak suka dengan guru yang mengajar mata ajaran tersebut? Saya dapat pastikan bahwa Anda tidak akan memperoleh nilai bagus untuk mata pelajaran itu. Penelitian menunjukkan bahwa emosi biasanya memicu seseorang untuk berprestasi. Oleh karena itu, kecerdasan emosional menjadi lebih penting dibandingkan dengan kecerdasan intelektual atau prestasi akademik. Kecerdasan emosional merupakan kemampuan seseorang untuk memotivasi diri sendiri, bertahan menghadapi frustrasi, mengendalikan dorongan hati (kegembiraan, kesedihan, kemarahan, dan lain-lain) dan tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati, dan mampu mengendalikan stres.
Kecerdasan emosional juga mencakup kesadaran diri dan kendali dorongan hati, ketekunan, semangat dan motivasi diri, empati dan kecakapan sosial (social skills). Keterampilan yang berkaitan dengan kecerdasan emosi ini antara lain misalnya: kemampuan untuk memahami orang lain, kepemimpinan, kemampuan membina hubungan dengan orang lain, kemampuan komunikasi, kerja sama tim, membentuk citra diri positif, memotivasi dan memberi inspirasi, dan sebagainya. Sebagian besar yang menentukan kesuksesan seseorang dalam hidup adalah kecerdasan emosional ini atau EQ (emotional intelligence). Orang dengan kecerdasan emosional yang tinggi biasanya menonjol dalam kehidupan nyata, misalnya menjadi pemimpin, memiliki hubungan luas, mudah bergaul, mempunyai karakter yang baik dan disiplin diri, serta memiliki kemampuan-kemampuan dasar untuk mencapai kesuksesan hidup.
Dibanding EQ, kecerdasan intelektual (IQ) hanya menyumbang kira-kira 20 persen untuk menentukan kesuksesan seseorang.
***
Bisakah kita meningkatkan kecerdasan emosi kita? Para filsuf besar seperti Socrates maupun Lao Tsu menunjukkan bahwa inti kecerdasan emosional adalah kesadaran akan perasaan diri sendiri. Artinya bahwa semakin kita mengenali diri sendiri, semakin meningkatlah kecerdasan emosi kita. Inilah pesan pokok manajemen diri yaitu mengenali dan mengelola diri (termasuk emosi kita), sehingga akhirnya kita dapat meningkatkan kecerdasan emosi kita yang merupakan penunjang keberhasilan kita dalam kehidupan ini.
Berikut ada 7 keterampilan yang perlu kita perhatikan dalam upaya meningkatkan kecerdasan emosional kita:
1. Mengenali emosi diri. Keterampilan ini meliputi kemampuan kita untuk mengidentifikasi apa yang sesungguhnya kita rasakan. Setiap kali suatu emosi tertentu muncul dalam pikiran, kita harus dapat menangkap pesan apa yang ingin disampaikan.
Berikut adalah beberapa contoh pesan dari emosi:
Takut. Emosi ketakutan (termasuk kegelisahan, kecemasan, kekuatiran, teror) merupakan antisipasi ke hal-hal buruk yang mungkin terjadi yang perlu dipersiapkan. Justru jika kita merasa takut kita justru mengirim pesan untuk siap siaga. Ketakutan itu tidak menyelesaikan masalah, tetapi tindakanlah yang mengatasi rasa takut dan masalah yang mungkin terjadi.
Sakit Hati. Perasaan sakit hati merupakan emosi yang paling mendominasi hubungan antarmanusia, baik pribadi maupun profesional. Sakit hati biasanya disebabkan oleh perasaan kehilangan atau memiliki harapan yang belum terpenuhi. Perasaan ini muncul jika mengharapkan orang menepati janji tetapi ingkar. Rasa kehilangan keakraban atau kepercayaan dapat menciptakan sakit hati.
Marah. Termasuk di dalamnya emosi kebencian, kegeraman bahkan mengamuk. Pesan atas kemarahan adalah berarti adanya suatu aturan atau standar penting yang dipegang dalam hidup telah dirusak oleh orang lain atau bahkan oleh diri sendiri. Kemarahan juga bisa diakibatkan oleh ketakutan atau rasa kehilangan yang menumpuk, sehingga meledak menjadi kemarahan. Oleh karena itu penting bagi kita untuk selalu dapat melepaskan emosi negatif sekecil apapun agar tidak meledak menjadi kemarahan yang destruktif bagi diri dan orang lain.
Frustrasi. Kapanpun kita merasa telah terus menerus berusaha tetapi tidak atau belum memperoleh hasil yang kita harapkan, kita cenderung merasakan emosi frustasi. Pesan emosi frustasi adalah sinyal positif, artinya kita percaya bahwa kita dapat melakukan lebih baik dari yang sedang kita lakukan. Kita hanya perlu mengubah pendekatan, persepsi atau perilaku kita terhadap masalah yang kita hadapi atau upaya yang sedang kita lakukan.
Kecewa. Kekecewaan terjadi jika kita merasa bahwa kita gagal atau kehilangan sesuatu selama-lamanya. Pesan emosi kecewa menunjukkan adanya harapan – tujuan yang seharusnya terwujud – mungkin tidak terjadi, sehingga kita perlu mengubah harapan atau menyesuaikan dengan situasi dan mengambil tindakan dan mencapai tujuan baru.
Rasa Bersalah. Perasaan atau emosi ini muncul ketika kita telah melanggar salah satu standar yang kita pegang. Emosi ini nampaknya mudah diatasi ketika kita merasa tidak ada orang lain yang mengetahui pelanggaran yang kita lakukan. Namun sesungguhnya dampaknya sangat berbahaya di masa mendatang, apalagi jika perasaan itu menumpuk dalam bawah sadar. Rasa bersalah yang terus menerus dapat menyebabkan stres dan mengurangi daya tahan tubuh serta menyebabkan timbulnya berbagai macam penyakit. Oleh karena itu penting sekali untuk segera melepaskan rasa bersalah itu. Kesepian. Perasaan ini muncul ketika kita merasa sendiri atau terpisah dari lingkungan orang lain. Ada dua macam tindakan yang dapat kita lakukan ketika rasa ini muncul. Pertama adalah dengan memanfaatkan emosi kesepian untuk memunculkan energi kreatif yang ada dalam diri kita, sehingga biasanya para seniman atau artis menjadi kreatif ketika mereka merasa kesepian. Hal kedua adalah dengan bertindak untuk mulai membina hubungan baru dengan orang lain. Mengenali emosi diri merupakan bentuk kesadaran diri yang tinggi. Kemampuan untuk memantau perasaan dari waktu ke waktu merupakan hal penting bagi wawasan psikologi dan pemahaman diri. Ketidakmampuan untuk mengenali perasaan membuat kita berada dalam kekuasaan emosi kita, artinya kita kehilangan kendali atas perasaan kita yang pada gilirannya membuat kita kehilangan kendali atas hidup kita.
***
2. Melepaskan emosi negatif Keterampilan ini berkaitan dengan kemampuan kita untuk memahami dampak dari emosi negatif terhadap diri kita. Sebagai contoh, keinginan untuk memperbaiki situasi ataupun memenuhi target pekerjaan yang membuat kita mudah marah ataupun frustrasi seringkali justru merusak hubungan kita dengan bawahan maupun atasan serta dapat menyebabkan stres. Jadi selama kita dikendalikan oleh emosi negatif kita justru tidak bisa mencapai potensi terbaik dari diri kita. Oleh karena itu kita membutuhkan keterampilan untuk dapat menghilangkan emosi negatif sebelum perasaan itu merusak kinerja kita atau kinerja organisasi secara keseluruhan. Kebanyakan orang mengatasi emosi negatif dengan mengekspresikannya (expressing limiting emotions) ataupun dengan menahan (suppressing) emosi tersebut.
Kedua hal ini justru malah menimbulkan dampak negatif. Ekspresi dari emosi seringkali bersinggungan dengan hubungan kita dengan orang lain, sehingga semakin ekspresif kita dalam menyatakan emosi semakin merusak hubungan personal maupun profesional kita.
Menahan emosi di lain pihak dapat menyebabkan tekanan atau stres, sehingga pada gilirannya akan merusak diri kita sendiri. Cara terbaik adalah dengan melepaskan emosi negatif (releasing limiting emotions) melalui teknik pendayagunaan pikiran bawah sadar, sehingga kita maupun orang-orang di sekitar kita tidak menerima dampak negatif dari emosi negatif yang muncul. Ketika kita sudah menguasai keterampilan menghilangkan emosi negatif, maka kita dapat meningkatkan kemampuan kita dalam membina hubungan dengan orang lain, berkomunikasi, kita menjadi semakin optimistis, percaya diri, mudah menyesuaikan diri dan sebagainya.
***
3. Mengelola emosi diri sendiri. Kita jangan pernah menganggap emosi negatif atau positif itu, baik atau buruk. Emosi adalah sekadar sinyal bagi kita untuk melakukan tindakan untuk mengatasi penyebab munculnya perasaan itu. Jadi emosi adalah awal bukan hasil akhir dari kejadian atau peristiwa. Kemampuan kita untuk mengendalikan dan mengelola emosi dapat membantu kita mencapai kesuksesan. Ada beberapa langkah dalam mengelola emosi diri sendiri, yaitu: pertama adalah menghargai emosi dan menyadari dukungannya kepada kita. Kedua berusaha mengetahui pesan yang disampaikan emosi, dan meyakini bahwa kita pernah berhasil menangani emosi ini sebelumnya.
Ketiga adalah dengan bergembira kita mengambil tindakan untuk menanganinya. Kemampuan kita mengelola emosi adalah bentuk pengendalian diri (self controlled) yang paling penting dalam manajemen diri, karena kitalah sesungguhnya yang mengendalikan emosi atau perasaan kita, bukan sebaliknya.
4. Memotivasi diri sendiri Menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan merupakan hal yang sangat penting dalam kaitan untuk memberi perhatian, untuk memotivasi diri sendiri (achievement motivation) dan menguasai diri sendiri, dan untuk berkreasi. Kendali diri emosional – menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati – adalah landasan keberhasilan dalam berbagai bidang. Keterampilan memotivasi diri memungkinkan terwujudnya kinerja yang tinggi dalam segala bidang. Orang-orang yang memiliki keterampilan ini cenderung jauh lebih produktif dan efektif dalam hal apapun yang mereka kerjakan.
5. Mengenali emosi orang lain Mengenali emosi orang lain berarti kita memiliki empati terhadap apa yang dirasakan orang lain. Penguasaan keterampilan ini membuat kita lebih efektif dalam berkomunikasi dengan orang lain. Inilah yang disebut Covey sebagai komunikasi empatik. Berusaha mengerti terlebih dahulu sebelum dimengerti. Keterampilan ini merupakan dasar dalam berhubungan dengan manusia secara efektif.
***
6. Mengelola emosi orang lain. Jika keterampilan mengenali emosi orang lain merupakan dasar dalam berhubungan antarpribadi, maka keterampilan mengelola emosi orang lain merupakan pilar dalam membina hubungan dengan orang lain. Manusia adalah makhluk emosional. Semua hubungan sebagian besar dibangun atas dasar emosi yang muncul dari interaksi antarmanusia. Keterampilan mengelola emosi orang lain merupakan kemampuan yang dahsyat jika kita dapat mengoptimalkannya. Sehingga kita mampu membangun hubungan antarpribadi yang kokoh dan berkelanjutan. Dalam dunia industri hubungan antarkorporasi atau organisasi sebenarnya dibangun atas hubungan antarindividu. Semakin tinggi kemampuan individu dalam organisasi untuk mengelola emosi orang lain (baca: membina hubungan yang efektif dengan pihak lain) semakin tinggi kinerja organisasi itu secara keseluruhan.
7. Memotivasi orang lain Keterampilan memotivasi orang lain adalah kelanjutan dari keterampilan mengenali dan mengelola emosi orang lain. Keterampilan ini adalah bentuk lain dari kemampuan kepemimpinan, yaitu kemampuan menginspirasi, mempengaruhi dan memotivasi orang lain untuk mencapai tujuan bersama.
________________________________________________________________
So…sambil browse jg..gw nemuin website ini, untuk macem2 test…salah satunya Emotional IQ Test. Klik aja link ini.
Gw juga udah coba testnya, n’ hasilnya seperti ini..
Emotional IQ test